
Karawang, Wartacana.com – Di antara rindangnya pepohonan dan udara lembap Karawang, berdiri kokoh Monumen Rawa Gede. Tugu itu tampak gagah dari luar, namun sunyi dari dalam. Hanya sedikit pengunjung yang datang, meskipun monumen tersebut dibuka sebagai destinasi wisata edukasi.
Besar kemungkinan tidak banyak orang yang memahami, di tempat itu pada 9 Desember 1947 silam, terjadi tragedi kejahatan hak asasi manusia. Sebanyak 431 warga sipil Rawagede tewas dibunuh tentara Belanda tanpa perlawanan. Semuanya laki-laki.
Karyadi (58 tahun), salah satu anak dari janda yang mengalami tragedi Rawagede, mengatakan bahwa Monumen Rawa Gede belum ada saat ia lahir. Sekitar tahun 1967, baru ada makam pahlawan di bagian belakang. Ketika itu kawasan pemakaman masih kecil.
Ketika masih kecil, Karyadi dan teman-temannya sering mengambil batu-batu dari tempat pemakaman untuk sekedar bermain, tanpa menyadari kesakralan tempat tersebut. “Kalau masih anak-anak kan suka… cari burung pakai batu. Suruh ngambilin batu,” kenangnya sambil tersenyum.
Monumen Rawa Gede resmi dibuka pada 9 Desember 1996. Warga asli Balongsari itu mengatakan kalau lokasi tersebut menyimpan sejarah yang penting bagi desanya dan bangsa ini.
Ia mengatakan, biasanya hanya pelajar yang datang ke Monumen Rawa Gede. “Itu pun dalam rangka kegiatan sekolah seperti doa bersama,” ujarnya.
Karyadi mengamati bahwa kunjungan itu sering kali tidak menyentuh makna yang lebih dalam dari sejarah yang terjadi di tempat itu. “Kalau pengunjung umum sendiri jarang datang,” katanya.
Karyadi juga menceritakan bahwa pada momen tertentu, seperti peringatan 17 Agustus atau 9 Desember, ada kegiatan upacara atau doa bersama yang melibatkan keluarga korban dan pihak sekolah. Kegiatan tersebut bentuk dorongan guru-guru atau tokoh yang bersimpati atas tragedi Rawa Gede.
Ia mengakui ada rasa bangga karena di desanya pernah lahir para pejuang yang diabadikan dalam monumen. “Waduh… dampak itu… antusias, merasa bangga lho. Merasa bangga,” tuturnya.
Ia lalu melanjutkan, “Karena… Mungkin di desa kami… Sampai ada… Ada pejuang… Bahkan dibikin monumen… Waduh… Kalau memang tadi bilang… Dampaknya gimana… Antusias sangat bahagia sekali.”
Sementara itu, salah satu pemerhati sejarah, Sukarman (74 tahun), menyebut bahwa perhatian pemerintah terhadap Monumen Rawa Gede masih minim. Ia menyinggung sebuah momen ketika Menteri Kebudayaan datang ke lokasi monumen, namun tidak disambut oleh satu pun pejabat daerah.
Menurut Sukarman, Monumen Rawa Gede lebih dari sekadar tugu, tetapi simbol perjuangan yang telah dibayar dengan darah. Sukarman mengatakan bahwa monumen tersebut memerlukan suara-suara untuk menjaga sejarah Rawa Gede agar tetap hidup.
“Tidak terkubur dalam senyap. Karena ketika sejarah dilupakan, arah masa depan pun bisa hilang. Dan perjuangan yang tidak dikenang, pada akhirnya akan mati dua kali,” katanya.
Tinggal Sedikit Tersisa, Janda Korban Tragedi Rawa Gede

Sukarman (74 tahun), yang ayahnya jadi salah satu korban pembantaian tentara Belanda, menceritakan kenangan kelam tersebut. Kepada Tim Penulis, Sukarman mengatakan, bahwa para istri kala itu harus menggali sendiri makam suaminya di depan rumah.
Termasuk ibunya, Cawit, yang menjadi salah satu janda korban para tentara Belanda. Ia mengatakan bahwa penguburan ayahnya dilakukan dengan alat seadanya, seperti golok, dan kain kafan digantikan dengan seprai atau kelambu yang tersedia di rumah.
“Bayangkan menggali kuburan yang agak curam dulu cuma pakai golok. Cuma 40 cm dalamnya, lebarnya 50 cm,” katanya sambil menjelaskan bagaimana makam-makam itu dibuat darurat oleh para perempuan yang ditinggal suami karena pembantaian. Pernyataan tersebut diambil dari wawancara dengan Sukarman yang dilakukan pada tanggal 29 April 2025.
Kenangan Sukarman semakin kelam, setelah mengetahui bahwa ayahnya tewas ketika baru enam bulan menikah dengan ibunya, yang belakangan diketahui bernama Cawit. “Lalu ibu saya menikah kembali dengan Kadi Sukardi,” ujar Sukarman.
Saat ini, hampir semua janda korban Tragedi Rawa Gede telah tiada, termasuk Cawit, ibunda Sukarman, yang telah meninggal sejak lama. Sukarman mengatakan, ketika masih hidup ibunya pernah menerima dana kompensasi dari pemerintah Belanda sebesar 20.000 Euro atau setara dengan Rp240 juta pada tahun 2011 untuk tiap-tiap orang.
Tim Penulis: Daniel Valentino Doranggi, Siti Nurhalimah, Siti Sephira Rindhu Mairida
njfpzh
0tlh2k
8itzot
q5vwx5
jbte0p
kv26fw
buy generic amoxicillin for sale – buy cheap amoxicillin generic amoxil
bzqw5r
buy diflucan – https://gpdifluca.com/# buy generic forcan
h8zvob
cost cenforce 50mg – https://cenforcers.com/# buy cenforce 100mg online cheap
22v0zr
buy cialis toronto – https://ciltadgn.com/ purchase generic cialis
cialis professional – on this site cialis no prescription
cgsdb5
voguel sildenafil 100mg – https://strongvpls.com/ sildenafil generic blue pill sc 100
More articles like this would make the blogosphere richer. nolvadex where to buy
The reconditeness in this ruined is exceptional. can prednisone cause hair loss
This website positively has all of the bumf and facts I needed about this case and didn’t positive who to ask. https://ursxdol.com/propecia-tablets-online/
j48t3v
More peace pieces like this would insinuate the интернет better. prohnrg
dn7wr2
Thanks on sharing. It’s top quality. https://aranitidine.com/fr/en_france_xenical/
1nlptp
vm3bgb
exbwnq
More posts like this would force the blogosphere more useful. https://ondactone.com/simvastatin/
You have brought up a very good details , regards for the post.
This is a theme which is forthcoming to my verve… Myriad thanks! Exactly where can I lay one’s hands on the contact details for questions?
order generic flexeril no prescription
5ohq56
9atskm
Facts blog you procure here.. It’s obdurate to find elevated quality belles-lettres like yours these days. I honestly recognize individuals like you! Withstand mindfulness!! http://zqykj.cn/bbs/home.php?mod=space&uid=302507