
Karawang, Wartacana.com – Di balik aliran Sungai Citarum, berdiri sebuah jembatan sederhana yang tak pernah masuk peta proyek pemerintah. Namanya: Jembatan Perahu Haji Endang.
Sejak dibangun pada 2010 oleh seorang warga bernama Haji Endang Junaedi (64 tahun), jembatan ini perahan tapi pasti mengubah wajah dua desa terpencil: Anggadita dan Parungmulya, Karawang. Awalnya, jalan di Anggadita buntu. Tak ada akses masuk keluar.
Akibatnya ekonomi di sana mati suri. Hingga suatu hari, seorang tokoh masyarakat bernama almarhum Yusuf menyampaikan harapannya:, agar menghidupkan kembali kampung yang sepi.
Harapan itu ditangkap serius oleh Haji Endang. “Saya ingin jembatan ini terus jalan, bisa lebih baik. Kalau pun nanti ada yang kelola, ya silakan asal jangan disalahgunakan, karena ini niatnya untuk rakyat,” katanya kepada Tim Wartacana.

Tanpa satu rupiah pun dari pemerintah, ia mulai membangun jembatan penyeberangan dengan modal awal Rp50–60 juta. Namun, jalannya tak mulus. “Tidak ada usaha yang mulus 100%. Pasti ada kendalanya,” ujar Haji Endang.
Di awal pembangunan jembatan, Ia sempat menghadapi penolakan warga, ditipu kontraktor, bahkan diterpa air sungai yang tinggi mengakibatkan 23 motor pelanggan rusak. Tapi Haji Endang tak mundur.
Dengan modal pinjaman Rp700 juta dari bank, awalnya ia membangun sistem penyeberangan dari 25 unit perahu kayu yang bisa mengangkut hingga 40 motor. Semua perahu kayu tersebut dibeli oleh seorang kontraktor.
Kini, lebih dari sekadar sarana transportasi, jembatan ini menjadi urat nadi ekonomi lokal. “Dulu saya cuma kerja di sawah atau kebun. Sekarang banyak yang jualan,” cerita seorang pemilik warung di Anggadita, yang engga disebutkan namanya.
Di Parungmulya, efeknya pun terasa. Seorang penjual nasi kuning yang mulai berdagang tahun 2017 mengaku dagangannya selalu habis sebelum jam 9 pagi. “Semenjak jembatan dibuka, jualan makin lancar,” katanya.
Tak hanya memicu kesetabilan ekonomi, jembatan ini juga mengurangi kemacetan dan polusi, serta memudahkan akses ke kawasan industri terdekat. Sebelum pandemi, usaha ini bahkan sudah memberangkatkan 8 warga untuk umrah secara gratis.
“Saya sudah mengangkat pekerja dari pengangguran, mengurai kemacetan, mengurangi polusi dan biaya BBM, mempercepat waktu tempuh kerja sampai 30 menit, dan menghidupkan UMKM di sekitar,” katanya.
Haji Endang menetapkan tarif sebesar Rp2.000 untuk setiap kendaraan roda dua yang melintasi jembatan buatannya. Tarif ini diberlakukan sebagai bentuk kontribusi dari pengguna jembatan agar pemeliharaan bisa berjalan secara berkelanjutan.
Ia mengaku hasil dari tarif ini tidak hanya digunakan untuk perawatan rutin jembatan, tetapi juga untuk menggaji beberapa warga yang membantu operasional. Haji Endang bisa mengumpulkan penghasilan dalam sebulan antara Rp. 250 juta hingga Rp300 juta dari hasil pungutan tarif kendaraan.
Penghasilan ini cukup stabil karena aktivitas warga yang kerap melintasi jembatan untuk kegiatan sehari-hari, seperti bekerja, sekolah, dan ke pasar. Dana tersebut tidak hanya dipakai untuk perawatan jembatan, tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat sekitar melalui lapangan kerja informal.
Rata-rata, terdapat sekitar 200 kendaraan roda dua bahkan lebih, yang melintasi jembatan setiap harinya. Angka ini mencerminkan pentingnya fungsi jembatan sebagai akses pokok bagi masyarakat setempat. Volume lalu lintas ini cukup konsisten, karena jembatan menjadi satu satunya jalur cepat yang menghubungkan dua desa yang dipisahkan oleh sungai.
Pemerintah kabupaten belum menunjukkan dukungan langsung dalam bentuk anggaran atau legalisasi resmi terhadap jembatan buatan Haji Endang. Meski keberadaan jembatan sangat membantu warga, statusnya yang dibangun secara swadaya membuat jembatan ini tidak masuk dalam daftar infrastruktur resmi milik pemerintah.
Beberapa pejabat sempat meninjau lokasi, tetapi belum ada tindak lanjut konkrit dalam bentuk bantuan atau pengambilalihan pengelolaan. Sikap pemerintah ini mencerminkan dilema antara kebutuhan infrastruktur warga dan standar pembangunan resmi.
Di satu sisi, pemerintah mengapresiasi inisiatif warga, tetapi di sisi lain masih ragu memberikan legitimasi karena persoalan keamanan, prosedur teknis, dan regulasi. Mayoritas warga memberikan tanggapan positif atas keberadaan jembatan tersebut.
Mereka merasa sangat terbantu, karena sebelumnya harus memutar cukup jauh atau menggunakan rakit untuk menyeberang sungai. Kini, dengan adanya jembatan, aktivitas ekonomi dan sosial warga menjadi lebih mudah dan cepat.
Meskipun harus membayar tarif, warga tidak keberatan karena merasa biaya tersebut sepadan dengan manfaat yang mereka terima. Bahkan, beberapa warga menyatakan siap membantu menjaga jembatan dan mendukung keberlanjutan pengelolaannya, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Haji Endang atas inisiatif dan jasanya.
Saat ini, jembatan itu berdiri bukan sekadar untuk penyeberangan, melainkan sebagai ladang ekonomi untuk warga disana. Ini adalah bukti bahwa tekad dan keberanian bisa membangun harapan meski tanpa dukungan negara.
“Ada yang kontra, ada yang pro. Tapi selama niat baik, saya pasrah ke Allah. Kalau ada yang mau tiru, silakan. Saya tidak anggap itu saingan karena rejeki sudah tuhan yang atur,” ujar Haji Endang.
Penulis: Sadila Risqi Amalia, Shahreen Hussain, dan Ridho Hafidz Wardayanti
Heey I know thiks iis ooff tooic but I was wondering if yoou knnew off any widgets I could add to mmy
bloog tha autommatically twedt myy newerst twitter updates.
I’ve been looking for a plug-in lke this for quitye some time aand was hpping mahbe
you wojld hae some experience with something like this.
Pleasse let me know if yyou runn nto anything.
I truly enjoy reading your blog and I look forrward to youjr neww updates.
gbi8a8
rtalrz
ruhus7
o1jk6j
zes4cr
799e1g
9scg51
w4pzbl
71bypg
faetbw
y0el7f