
Karawang, Wartacana.com — Derasnya hujan tak berhenti membasahi wilayah Pangkalan, Karawang. Sungai Cibeet yang biasanya bersahabat, namun tidak di kala itu. Di malam Senin pada awal Ramadhan tahun 2025, suara runtuhan jembatan terdengar dari Desa Tamansari.
Jembatan Cicangor yang menjadi satu-satunya penghubung utama antara Karawang Selatan dan pusat Kota Karawang pun amblas diterpa hujan yang begitu deras. Banyak orang yang menganggap Jembatan Cicangor hanyalah fasilitas atau hanya infrastruktur buatan pemerintah.
Namun, bagi Adi Widana 40 tahun seorang pemilik warung sembako kecil di pinggir jembatan, amblasnya jembatan membuat usaha yang baru ia bangun sejak dua tahun lalu, menjadi lesu. Semenjak jembatan itu runtuh, pelanggan dari seberang nyaris tak ada yang menghampiri warung sembakonya.
“Pelanggan yang dari sebrang jembatan gak bisa masuk kesini karena gak ada akses semenjak putus jembatannya,” keluhnya.
Pengiriman barang dari luar Karawang yang biasanya datang secara rutin, kini sering terlambat bahkan gagal untuk dikirim. Adi tetap berusaha untuk bertahan, tapi ia tahu, usahanya sedang dalam titik kritis di kondisi ekonomi seperti ini.
Tak jauh dari situ, Asep 50 tahun seorang pengurus angkutan umum jenis ELF, juga turut merasakan dampak yang sama beratnya. Sudah 10 tahun ia menjalani profesi sebagai itu.
Biasanya, angkutan ELF-ELF yang ia kelola bermobilitas bolak-balik antara Karawang Selatan dan pusat Kota Karawang beberapa kali sehari. Tetapi, sejak jembatan amblas, semuanya nyaris berhenti total.
“Waktu itu, kita semua kaget. Malam-malam ambruk. Besoknya, semua akses mati. Angkutan nggak bisa jalan. Penumpang harus jalan kaki nyebrang, pindah ke kendaraan lain. Biaya jadi mahal, waktu jadi lama,” ujarnya.
“Sehabis tarawih-an, malamnya itu amblas. Ya karena hujan, banjir, tanahnya juga amblas, jadi sudah tidak kuat lagi nampung beban yang berat,” ujarnya. Suaranya berat. Raut wajahnya sedih. Ia terlihat lelah, meski saat ini ELF-nya sudah dapat beroperasi lagi walau hanya melewati jembatan sementara.
Asep tahu, Jembatan Cicangor bukan sekadar jalan biasa. Baginya adalah napas ekonomi masyarakat.
Ia bercerita, ada anak-anak sekolah yang harus ganti angkutan dua sampai tiga kali hanya untuk berangkat ke sekolah. Ada ibu-ibu yang ingin belanja ke pasar tapi harus berpikir dua kali karena jarak yang semakin jauh dan juga biaya makin besar.
“Yang paling kerasa ya dampak ekonomi. Banyak sopir yang biasanya narik tiap hari, tapi waktu cuma bisa diam bengong, ya walau sekarang udah bisa mulai narik lagi sih,” tambahnya.
Pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Karawang menjelaskan bahwa amblasnya jembatan disebabkan oleh bencana alam. Hujan deras yang membahasi wilayah tersebut merupakan faktor utama terjadinya bencana alam.
Derasnya arus sungai menyebabkan tanah di sekitar pondasi jembatan terkikis hingga satu dari tiga pilar jembatan pun tidak mampu menahan beban. “Kami sangat menyayangkan kejadian ini. Tapi itu bencana alam yang memang tidak bisa diprediksi,” ujar Agung, perwakilan dari Dinas PUPR.

Sebagai tanggapan dan upaya yang cepat, pemerintah memutuskan untuk membangun Jembatan Bailey, yakni jembatan darurat yang biasanya digunakan pada situasi bencana. Pembangunannya dilakukan bersama dengan pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat karena Jembatan Cicangor merupakan akses di jalur provinsi.
Jembatan bailey itu kini sudah beroperasi, namun hanya dapat dilalui oleh kendaraan kecil dengan batas tinggi 2,1 meter. Truk-truk besar tentu saja harus memutar melalui jalur alternatif yang lebih panjang dan tentu saja lebih jauh.
Meski begitu, bagi Adi dan Asep, keberadaan jembatan sementara belum menjawab semua permasalahan yang ada. “Kalau mobil kecil saja yang bisa masuk, kalau mobil gede untuk pengiriman barang tetep gak bisa, harus tetep muter,” kata Adi, yang menunjukkan raut wajah tidak bersemangat.
Asep juga menyampaikan hal yang serupa. “Sekarang alhamdulillah ya, roda ekonomi bisa berputar lagi angkutan kami elf-elf ini bisa beroperasi normal lagi ya. Yang jelas saya pengen secepatnya dibangun lagi jembatan yang seperti semula, yang kokoh gitu ya,” harapnya.
Pemerintah menyatakan bahwa akan membangun kembali jembatan permanen seperti sedia kala. Namun tentu saja proses itu membutuhkan banyak waktu.
Harus melalui perencanaan, desain, anggaran, dan juga evaluasi teknis yang tidak mungkin memerlukan waktu yang sebentar. “Tentu akan dibangun kembali. Tapi harus disiapkan dengan matang, agar tidak terjadi lagi hal yang sama di masa depan,” jelas Agung kepada pihak Wartacana.com
Di tengah kepastian yang masih samar itu, masyarakat tetap harus bertahan. Mereka pun beradaptasi dengan keterbatasan yang ada.
Mengencangkan pertahanan, mengatur keperluan logistik seadanya, dan berharap ekonomi mereka dapat kembali pulih seperti sedia kala. Jembatan mungkin dapat dibangun kembali dengan semen dan baja.
Tetapi harapan masyarakat tak cukup kuat hanya dengan hal itu. Mereka butuh kepastian yang valid. Mereka butuh waktu, tenaga, bahkan uang mereka yang hilang untuk kembali. Jembatan Cicangor memang runtuh, namun yang paling keras runtuhannya ialah ruang hidup masyarakat yang bergantung padanya.
Tim Penulis: Amira Fajri Putri, Bintang Afi Aulia Ratman, dan Calista Lovena Paluvi.
nnelf5
hr3i6t
b7r8yj
lq8erg
0gxphj
k6fytk
l33z85
hh5b5h